Rabu, 27 Mei 2009

Fakta Tantangan Ekonomi Indonesia

Dalam acara dialog Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bersama tiga capres yang akan bertarung, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono, Jusuf Kalla dan Megawati Soekarnoputri di Jakarta pekan lalu, tertangkap jelas bahwa keadaan ekonomi kita saat ini kurang begitu menggembirakan.
Mungkin hanya SBY yang terlihat cukup puas dengan keberhasilan yang telah dicapai. Perekonomian digambarkan terus membaik setelah hantaman krisis. Beberapa target pencapaian yang sebelumnya telah diumumkan diubah menjadi lebih tinggi untuk menggambarkan pertumbuhan dan lebih rendah untuk menggambarkan kemiskinan dan pengangguran. Kalau pertumbuhan kredit 2009 sebelumnya dipatok 10 persen, proyeksi baru didongkrak menjadi 15 persen. 
Namun yang perlu dijawab, siapa yang akan menyerap pertumbuhan kredit itu? Tentu saja membingungkan karena BPS sendiri melaporkan, Indeks Tendensi Bisnis pada Triwulan I dan II tahun 2009 masih di bawah 100, pertanda pesimisme masih menyelimuti komunitas pengusaha. Sebelumnya, pada pekan pertama Mei 2009, dikatakan bahwa indikator makroekonomi Indonesia dalam kondisi baik. 
Uang kas, indeks harga saham gabungan (IHSG), dan rupiah meyakinkan. Isi kas negara Rp127,8 triliun dengan valuta asing USD88 miliar. IHSG naik 20 persen, rupiah pada ekuilibirium di bawah Rp10. 500, harga minyak di USD53,8. Indeks surat utang negara (SUN) yang durasinya 10 tahun sudah di bawah 12 persen. Selain itu,cadangan devisa ada pada angka USD56,57. Di penghujung April, dana asing yang masuk pasar domestik sudah sekitar USD2-3 triliun. 
Per April, terjadi deflasi 0,31 persen berkat penurunan harga beras, daging ayam, dan cabai. Inflasi year on year (YoY) 7,31 persen, inflasi Januari, April 2009 0,05 persen. Kalau tren ini bisa dijaga, inflasi 5 persen bisa tercapai. Melihat angka-angka itu tentu harapan akan membubung tinggi. Namun, apakah pemerintah kita akan sekuat untuk menghentikan proses pendalaman krisis guna mencegah kecenderungan deindustrialisasi? Dalam konteks menghentikan pendalaman krisis, data-data menunjukkan kepada publik bahwa kinerja pemerintah jauh dari harapan. 
Tolok ukur pertamanya adalah pengelolaan APBN 2009. Hingga 15 Mei 2009, belanja negara baru Rp243,166 triliun (23,45 persen). Mestinya sudah mencapai 40 persen karena pemerintah menargetkan belanja 8 persen per bulan. Progresnya memang lamban jika dibandingkan dengan posisi 30 April 2009,ketika realisasi belanja negara sudah 21,55 persen dari pagu APBN 2009. Namun,saat itu di kas negara ada Rp122 triliun dana pemerintah yang belum dimanfaatkan. 
Tahun-tahun sebelumnya penyerapan anggaran bahkan jauh lebih lamban. Stimulus Fiskal 2009 praktis gagal mencapai targetnya untuk meredam hantaman krisis global, setelah puluhan proyek infrastruktur dari beberapa departemen tidak bisa direalisasikan tahun ini. Alokasi dana stimulus 2009 untuk Departemen Perdagangan Rp335 miliar dibatalkan. Padahal, dana Rp215 miliar sudah masuk DIPA yang akan digunakan Depdag untuk membangun pasar di 32 lokasi pada 20 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. 

Stimulus infrastruktur 2009 jatah Departemen Pertanian (Deptan) Rp650 miliar juga dibatalkan. Alasannya, proyek-proyek yang rencananya menggunakan dana stimulus ternyata berbeda dengan proposal yang diajukan ke DPR. Adapun stimulus infrastruktur 2009 di Departemen Perhubungan pun dipastikan meleset dari jadwal. Sektor perhubungan mendapat alokasi Rp2,2 triliun. 
Kalau realisasinya tepat waktu, stimulus Dephub ditargetkan menyerap 60.000 tenaga kerja. Rendahnya efektivitas APBN makin diperparah oleh beban pembayaran cicilan pokok dan bunga utang luar negeri. Tahun ini utang luar negeri yang jatuh tempo sebesar USD6.485,07 juta. Jumlah ini hampir 3 kali lipat jumlah utang jatuh tempo per 2008. 
Pemerintah sama sekali tak pernah berupaya menurunkan beban pembayaran utang dengan inisiatif renegosiasi kepada para kreditor. Outstanding utang luar negeri Indonesia sejak 2004 hingga 2009 juga terus meningkat, dari Rp1.275 triliun menjadi Rp1.667 triliun. Selain itu, total utang dalam negeri juga meningkat signifikan dari Rp662 triliun pada 2004 menjadi Rp920 triliun pada 2009. 
Dengan minimnya peran APBN sebagai penggerak pembangunan, kita nyaris kehilangan motor pertumbuhan, karena investasi baru maupun perluasan plus laju pertumbuhan ekspor tidak bisa diandalkan. Kita memang mencatat pertumbuhan sebelum krisis keuangan rata-rata 6 persen, tapi kualitas pertumbuhan ekonomi kita masuk kategori buruk alias tak bermutu. Pertumbuhan yang tak mampu menyediakan lapangan kerja dan mengatasi isu kemiskinan. 
Pertumbuhan yang tak bisa mengubah ketidaknyamanan kehidupan menjadi keadaan yang lebih baik. Ukuran paling sederhana untuk mengklaim keadaan baik-baik saja adalah memotret kesejahteraan rakyat. Dibutuhkan kejujuran dalam menyikapi fakta apa adanya. Kita semua sudah akui bahwa daya beli rakyat lemah. Berarti,rakyat diselimuti ketidaknyamanan. Daya beli yang lemah itu kemudian akan tecermin pada tinggi rendahnya konsumsi rumah tangga. Konsumsi rumah tangga tahun ini diperkirakan di level 4,1 persen,turun dari 5,7 persen tahun 2007/08. 
Berarti, keadaan mestinya tidak bertambah baik. Kecenderungan itu diperkuat fakta berlanjutnya program bantuan langsung tunai (BLT) plus program beras untuk warga miskin. Menjelang akhir 2008, Badan Urusan Logistik (Bulog) berencana mengalokasikan beras untuk keluarga miskin (raskin) bagi 18,5 juta rumah tangga miskin (RTM). Tahun ini, penerima raskin berjumlah 19,1 juta RTM. Kesannya jadi tidak realistis, karena saat alokasi raskin itu dirancang,publik sudah ?diteror? oleh potensi gelombang PHK sepanjang 2009 akibat dampak krisis keuangan. 
Mengacu pada kemungkinan itu,Bulog saat itu belum mau memfinalkan perkiraan alokasi Raskin untuk tahun ini. Bulog juga khawatir jumlah yang dibutuhkan bisa lebih besar mengingatkan banyak orang kehilangan mata pencariannya. RTM akan selalu ada di mana pun. Namun,jumlahnya akan mencemaskan jika negara gagal menekan pengangguran atau tak mampu menyediakan lapangan kerja. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pengangguran resmi 8,5 persen atau sembilan juta orang. 

Dua data masalah ini cenderung membenarkan bahwa angkatan kerja yang menganggur sejatinya jauh lebih besar dari data yang dilaporkan ke Depnakertrans. Seorang ekonom pernah membuat perkiraan bahwa jika catatan BPS itu ditambahkan dengan pengangguran terselubung, jumlahnya bisa mencapai 40 juta orang. Kalau pertumbuhan ekonomi per tahun di bawah 6 persen, jumlah pengangguran pasti bertambah. Untuk itu, hendaknya masalah kesejahteraan rakyat mendapat perhatian lebih. Sambil melanjutkan Program BLT, Raskin dan PNPM Mandiri, otoritas fiskal dan otoritas moneter harus mencari solusi lain dalam jangka dekat ini. 
Setidaknya, solusi itu meliputi penurunan suku bunga bank, menyempurnakan efektivitas stimulus fiskal,penguatan kinerja sektor riil dan segera memberdayakan UMKM. BI dan bank-bank umum berniat memacu pertumbuhan penyaluran kredit. Niat ini sulit diwujudkan jika otoritas moneter dan perbankan tidak menurunkan suku bunga. Suku bunga yang moderat akan mendorong penurunan harga barang dan jasa, mendorong penguatan daya beli dan konsumsi rumah tangga, menurunkan biaya produksi dan distribusi, serta membangkitkan gairah sektor riil. 
Dalam periode krisis sekarang ini, stimulus fiskal harus efektif. Realisasi proyek-proyek infrastruktur dalam paket stimulus perlu mendapat pengawasan khusus agar tujuan besarnya tercapai. Pengelolaan APBN, khususnya pada sisi belanja negara, juga harus ditingkatkan. Efektivitas dua hal ini akan merangsang kegiatan produktif di masyarakat, dan pada gilirannya akan membuka lapangan kerja baru.
Sumber :
http://economy.okezone.com/index.php/ReadStory/2009/05/28/279/223790/fakta-tantangan-ekonomi-indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar